(Sumber Gambar: edukasi.kompasiana.com)
Seperti biasa, tahun ini setiap guru kelas 12 materi UN mengejar siswanya untuk latihan segudang soal-soal latihan ujian nasional agar siswanya dapat lulus dan mendapatkan rata-rata nilai yang baik. Setiap pertemuan dipakai untuk menjelaskan materi dan latihan soal yang begitu banyak. Pada saat saya mengajar, salah satu komentar siswa bertanya, “Kita belajar ratusan soal hanya untuk berjuang 4 soal pada SKL (Standar Kompentensi Lulusan) 1?” Belum lagi ratusan soal lain yang harus dipelajari untuk SKL 2, 3, 4, dan seterusnya.
Ratusan variasi soal ini memang sengaja diberikan kepada siswa agar siswa terlatih mengerjakan soal yang serupa dengan Ujian Nasional. Sisi positifnya siswa jadi belajar lebih tekun, serius, dan ‘memaksa’ dirinya menyerap materi dan mengerjakan soal dalam kapasitas yang begitu besar dengan. Selain itu, bisa dipastikan lulusan Ujian Nasional nanti memang dikatakan dapat memahami keseluruhan materi kelas 12. Banyak dari mereka yang panik dan takut dengan nilai yang rendah dan di bawah standar kelulusan sehingga akhirnya mereka berjuang mati-matian mendapatkan hasil yang terbaik. Sistem seperti ini memang dapat mendorong siswa menjadi jauh lebih serius dalam memahami materi agar mereka dapat lulus Ujian Nasional.
Namun, pertanyaan terbesar yang harus dijawab pencetus Ujian Nasional ini, apa manfaat Ujian Standardisasi ini bagi kehidupan pribadi siswa? Jika kita renungkan, apakah tujuan akhirnya hanya mempersiapkan siswa memilih jawaban A sampai E dengan segudang materi yang beranekaragam. Kebetulan, saya memang guru baru yang 6 tahun lalu mengejakan Ujian Nasional yang serupa pada waktu duduk di SMA.
Saat seusia SMA saja, saya pun memikirkan apa manfaat stress, ketakutan, kepanikan, dan juga keterpaksaan belajar ini? Saya sadar pada waktu Ujian Nasional, saya menjadi benar-benar mempelajari semua soal namun saya rasa makna pendidikan harus lebih sekedar dari menyelesaikan semua soal. Entah kenapa, saya tidak merasa ada semangat, kebanggaan, dan kehebatan tersendiri jika saya berhasil mendapatkan nilai UN tertinggi. Yang saya rasakan justru hanya bagaimana menyelesaikannya karena saya berpikir soal-soal UN itu hanya selembar kertas yang tidak mendefinisikan identitas saya. Jika saya mendapat nilai 100, banyak juga yang bisa mendapatkan nilai yang sama. Saat itulah saya merasa hal ini membuat saya tidak ada yang perbedaan nilai 90, 100 saya dengan teman-teman saya yang lain. Saya juga tidak memiliki kebanggaan bahwa UN dapat menjadi cara memecahkan begitu banyak permasalahan di bangsa ini. Pada satu titik. saya merasa saya bukan diciptakan untuk sekedar memilih jawaban yang benar.
Saya merasa kitalah yang perlu menciptakan jawaban-jawaban orisinil terhadap permasalahan yang ada. Terlalu banyak variasi materi dan soal yang membuat saya merasa kita belajar terlalu banyak dan luas sehingga membuat siswa seakan ‘mau muntah’ dengan ilmu pengetahuan yang terlalu banyak. Pada saat kuliah, tanyalah mereka, apakah semua materi UN terpakai? Tidak semua. Bahkan sebagian besar, hanya berlalu begitu saja tanpa manfaat nyata bagi kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi, banyak yang akhirnya justru bukan cinta pada ilmu tersebut tetapi malah trauma dan sudah kapok belajar materi yang terlalu banyak di UN. Padahal tujuan pendidikan seharusnya menciptakan seseorang untuk memiliki gaya hidup life-long learning dimana ia dapat mencintai apa yang ia pelajari untuk seumur hidupnya dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pertanyaan terbesar selanjutnya adalah apakah UN memang menumbuhkan kecintaan seseorang akan belajar seumur hidup bukan saja pada saat UN? Jika ya, indikatornya dapat kita lihat, apakah setelah UN, siswa kita mencari sendiri masalah-masalah fisika, kimia, geografi, ekonomi yang dapat mereka pecahkan dalam kehidupan sehari-hari selama mereka hidup. Jika kenyataannya tidak, berarti UN sendiri yang membunuh kecintaan seseorang akan belajar materi tersebut. Dengan 6 pelajaran yang dijadikan materi Ujian Nasional, apakah memang siswa perlu menguasai semua materi itu dalam kehidupan sehari-hari secara serentak? Apakah satu Indonesia benar-benar memerlukan sistem standardisasi yang meliputi keenam materi yang begitu padat seperti itu?
Ironisnya, sistem standardisasi ini membuat siswa justru bingung materi mana yang justru ia sukai untuk dijadikan pembelajaran seumur hidup. Padahal saya yakin 200 juta penduduk kita memiliki latar belakang budaya, bakat, kreatifitas, dan juga keunikan yang tak terbatas yang perlu dipupuk pada usia SMA agar mereka dapat memilih jurusan kuliah yang tepat di masa depan nanti. Yang terpenting bukanlah siswa dapat menguasai semua pelajaran, tetapi bagaimana siswa dapat mengintegrasikan pelajaran yang ia suka dalam kehidupan sehari-hari utuk menjadi jawaban.
Memang masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab pemerintah dalam menerapkan Ujian Nasional. Saya rasa tes standarisasi memang diperlukan untuk mengukur kemampuan dasar, namun tidak semua pelajaran. Saya lebih setuju siswa dapat memilih sendiri mata pelajaran apa yang dijadikan Ujian Nasional. Biarkan semua mata pelajaran memiliki standar bukan hanya pelajaran IPA dan IPS. Jika seseorang mau mengambil jurusan Desain, biarkan mereka mengikuti Ujian Nasional Desain yang menjadi bekal untuk menjadi seorang Desainer/Desain Grafis. Demikian juga, jika seseorang ingin mengambil jurusan Ekonomi, sediakanlah Ujian Nasiona Ekonomi. Biarkan siswa memilih dan lihat perbedaan lulusan yang dihasilkan dimana mereka memiliki kemandirian belajar dan tanggung jawab untuk mempelajari materi yang ia sukai sampai akhir.
Selain itu, saya rasa format UN perlu dirombak total. Jika pada akhirnya mereka harus memilih jawaban A-E, nilai 80, 90, 100 tidak dapat mengekspresikan keunikan yang siswa miliki. Kita memang perlu standardisasi tetapi standardisasi pembelajaran yang personal dimana siswa diberikan kesempatan yang sama untuk belajar dengan cara dan keunikan dan bakat yang mereka miliki. Dengan demikian, nilai yang mereka miliki memang secara holistik menggambarkan pengetahuan, karakter, dan keahlian mereka miliki.
Dengan berfokus pada topik tertentu biarkan siswa menganalisa, mengevaluasi, dan menciptakan ide-ide inovatif yang menjadi bahan Ujian Nasional. Bayangkan saja, jika setiap siswa yang lulus diminta untuk menganalisa permasalahan dan membuat inovasi yang kreatif terhadap topik yang spesifik dengan memanfaatkan pengetahuan yang mereka miliki. Saya yakin Indonesia akan memiliki banyak jalan keluar terhadap permasalah yang ada dari ide yang mereka cetuskan. Seringkali kita meremehkan anak SMA, padahal mereka menyimpan sejutu mimpi, idealisme, dan juga harapan untuk Indonesia yang lebih baik. Saya lebih setuju format Ujian Nasional diberikan dalam bentuk proyek nyata dengan indikator dan rubrik yang jelas dari pemerintah dan biarkan guru yang memberikan penilaian.
Pada akhirnya, setelah siswa bisa memilih apa yang mau di ujian Nasional kan dengan format Ujian Nasional yang memang menggambarkan secara utuh identitas siswa yang dapat memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan nyata melalui pengetahuan yang ia miliki, saya optimis Indonesia akan memiliki kualitas lulusan yang memiliki kecintaan akan apa yang mereka pelajari. Indikatornya adalah apa yang akan mereka lakukan setelah Ujian Nasional. Apa mereka masih melanjutkan penelitian dan mengembangkan proyek Ujian Nasional? Jika Ya, saya rasa pemerintah perlu segera mengubah standar kelulusan siswa kita dari yang dapat memilih jawaban yang tepat menjadi menciptakan jawaban yang relevan.