Seperti kata salah seorang tokoh di tv series “How I met Your Mother”, Robin Scherbatsky “You can’t jump straight to the end. The journey is the Best Part.” Kita tidak bisa lompat langsung sampai ke akhir. Perjalanan dan proses adalah bagian terbaiknya. Ya pepatah ini akan membuka pengalaman saya mengikuti International Christian Higher Education Conference 2013 di Universitas Pelita Harapan. Saya sadar sepenuhnya bahwa rasanya ingin langsung menuju bagian akhir ketika saya mempresentasikan paper saya di konferensi ini. Namun, percayalah, the journey is the best part of the conferences!
Bulan Juli lalu di tengah semangat menulis yang membara, saya membuka website UPH (Universitas Pelita Harapan) dan tiba-tiba saya melihat halaman yang menarik perhatian saya. Halaman ini menampilkan gambar dan tulisan tentang kegiatan International Conference yang diadakan oleh Universitas Pelita Harapan, Biola University, dan Corban University. Setelah saya mencoba mengakses halaman tersebut, saya menemukan bahwa topiknya sangat relevan buat saya sebagai Social Media Geeks. Topiknya “Faith & Learning: Media of Hope” dan salah satu tema paper yang diminta adalah Classroom Digital Context of Shared Learning. Hal ini kemudian menantang saya untuk membagikan pengalaman saya dalam mengimplementasikan sosial media di kelas saya. Akhirnya, saya mencoba mengirimkan abstrak tentang paper yang sebenarnya berupa pengalaman mengajar saya di kelas. Judulnya “Using Social Media to Enhance Students’ Creative Thingking in Geography.” Dalam hati, saya agak senyum-senyum sendiri, apa mungkin pengalaman saya yang sederhana ini bisa diterima ya untuk dipresentasikan dalam konferensi ini. Apalagi ini pengalaman pertama saya ikut konferensi. Tapi saya tidak mau berpikir hasilnya dulu, yang penting sudah lakukan bagian terbaik.
Setelah itu di bulan Agustus, saya kaget abstract saya diterima untuk dijadikan paper yang akan dipresentasikan di konferensi ini. Dalam hati, saya benar-benar tidak menyangka sekaligus senang, deg-degan semua perasaan bercampur menjadi satu. Namun eforia saya harus segera di kelola karena ternyata mereka meminta saya mengirimkan full papernya minggu depan. Jujur, saya tidak pernah menyangka akan diterima, jadi saya tidak mempersiapkan papernya terlebih dahulu. Hanya ide intinya sudah ada diabstract tinggal dikembangkan. 1 minggu itu menjadi masa-masa ‘deadline’ terparah bagi saya karena dlm 1 minggu, saya perlu kumpulkan berbagai sumber dan juga mengelola konten paper yang logis, sistematis, dan menarik. Sepertinya begitulah cara Tuhan ‘mendorong’ saya keluar dari zona nyaman saya utk menghasilkan karya terbaik di detik-detik terakhir. Di tengah kesibukan mengajar, belajar, dan juga kegiatan sekolah yang padat, saya harus menyiapkan paper tersebut untuk dikirim dalam waktu 1minggu.
Masa pembuatan paper ini ternyata mengajarkan saya banyak pelajaran hidup yang sangat berharga. 1 minggu gila itu membuat saya menghabiskan waktu istirahat di rumah dengan browsing internet, konsultasi dengan rekan-rekan guru baik scara langsung maupun dengan media sosial. Bahkan, saya pun menghubungi kembali dosen pembimbing skripsi s1 saya yang berada di luar negeri untuk memberikan komentarnya terhadap paper saya. Sampai akhirnya, saya pun mengumpulkan paper saya via email. Namun, 1 minggu penuh keringat jerih lelah itu pun belum cukup untuk membuat saya duduk lega. 2 hari setelah dikirim, paper saya diberi masukan bahwa perspektif alkitab dan bahasa inggrisnya masih harus ditingkatkan lagi. Saat itu, saya sempat merasa down dan kecewa. Coba bayangkan kamu sudah banting tulang selama seminggu dengan penuh jerih lelah untuk mendesain paper ini, namun ternyata masih belum bisa diterima. Ternyata keringat belum cukup membuat paper ini diterima, dibutuhkan air mata kerendahan hati untuk belajar untuk memperbaiki paper ini. Lebih dari sekedar menulis papernya, disini saya belajar kerendahan hati untuk ditolak, dikritik, dan diperbaiki adalah hal terpenting dlm proses ini. Akhirnya, saya diberi 1 minggu lagi untuk memperbaikinya. Kali ini, saya mengerahkan semangat saya untuk bangkit dan mengevaluasi kembali paper saya dari awal sampai akhir. Saya bertanya kepada teman-teman dan orang yang mau bersedia membantu pembuatan paper ini.Akhirnya, saya pun kembali mengirimkan paper tersebut ke panitia dengan beberapa perbaikan.
Namun, 2 hari setelah itu, panitia membalas bahwa english nya masih banyak kesalahan dan untuk dipublish, harus disempurnakan dalam waktu 5 hari. Menerima email ini membuat saya merasa jatuh ke dalam titik terdalam dimana saya merasa benar-benar parah. Setelah semua usaha yang saya lakukan dengan segenap hati saya, ternyata paper ini masih belum bisa diterima. Disini saya belajar betapa Tuhan mau menyadarkan saya untuk begantung sepenuhnya pada Dia sumber ide dan inspirasi. Justru dalam kelemahan sayalah kuasa Tuhan menjadi sempurna. Jika saya marah, kecewa, dan kesal bisa saja, tapi saya memilih tidak melakukan itu. Saya memilih saya akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Saya pun dengan kerendahan hati datang ke salah satu guru Inggris di sekolah saya untuk minta bantuan dalam memperbaiki grammar tulisan saya. Saya sampai berkata, “Saya merasa sangat parah berbahasa inggris dan saya udah mentok, sehingga saya benar-benar butuh bantuan.”Saya mengerti kesibukan guru bahasa inggris tersebut, namun Puji Tuhan, ia mau membantu memperbaiki sebagian dari paper saya. Kemudian, saya pun menghubungi dosen pembimbing skripsi saya yang berada di luar negeri untuk minta tolong mereview paper saya. Namun, ternyata beliau sedang mengikuti konferensi juga saat itu, hanya beliau benar-benar mendukung saya mengikuti konferensi tersebut dan ia berjanji di tengah kesibukannya ia mau memperbaiki paper saya. Disini saya menyadari betul bahwa orang yang benar-benar pintar bukan sekedar orang yang bergelar tinggi dan punya jabatan, tapi orang yang benar-benar pintar adalah orang seperti dosen saya yang sudah menyandang gelar Ph.D dan menjadi rektor di salah satu college di Australia serta sedang mempresentasikan papernya mau memberikan waktunya untuk mengoreksi paper sederhana dari mantan muridnya. Ini benar-benar menantang pemikiran saya, apakah dosen-dosen kita di Indonesia memiliki hati seperti ini? Sampai akhirnya, saya pun menerima revisi paper yang diperbaiki dengan begitu banyak coretan yang membantu menyadarkan saya bahwa masih banyak yang harus saya pelajari. Dengan kata-kata semangat dan membangun dari dosen saya di emailnya, ia menunjukkkan betapa bangga dan percaya bahwa paper saya luar biasa baik untuk dipresentasikan di konferensi itu. Mungkin kata-kata ini sederhana, namun hal ini mengubahkan rasa down dan takut saya menjadi semangat baru dan optimis dlm mengirimkan paper ini. Akhirnya, saya pun mengirimkan paper ini ke email panitia namun kali ini saya sudah siap jika diterima ataupun ditolak karena saya sudah berusaha yang terbaik. Saya pun belajar betapa pentingnya menjaga relasi dengan sahabat, rekan, dan dosen yang menjadi tempat saya bertanya, berdiskusi, dan berbagi beban membuat paper ini. Kepada semua pihak yang membantu baik dengan doa, semangat, dan dukungan yang saya yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu, saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya untuk bantuan kalian yang sangat berarti dalam menuliskan paper ini. Terlepas dari hasilnya diterima atau ditolak, saya sudah belajar banyak melalui proses pembuatan paper ini dan nothing to lose!
Puji Tuhan, pada akhirnya panitia menerima paper saya untuk bisa dipublikasikan dan dipresentasikan dalam konfensi tersebut. Dalam hati saya bersyukur atas setiap proses penolakan yang saya lewati yang mendewasakan saya menjadi pribadi yang rendah hati dan mau belajar dari kesalahan yang saya buat. Disinilah saya melihat kuasa Tuhan makin sempurna dalam kelemahan saya. Saat saya merasa lega berhasil meloloskan paper tersebut di dalam konferensi ini, justru disanalah saya mulai keluar dari comfort zone saya. Melalu setiap tantangan yang saya hadapi inilah, saya percaya Tuhan membentuk saya menjadi pribadi yang tough dan fearless melewati berbagai macam tantangan. Untungnya perjalanannya belum berakhir disini.
Bersambung
Enjoy the blessings of the journey. HE will lead you along the way. May God continue to use you for His glory.
Thank you Ibu Sandra for sharing your meaningful experiences and genuine supports! Keep in touch.
PROSES ITU MEMANG PENTING. Seseorang pernah bertanya kepada seorang Hamba Tuhan, “Mana yg lebih “sulit” bagi Tuhan: menciptakan alam semesta atau membentuk hamba-hamba-Nya?” Dia menjawab, “Lebih sulit membentuk hamba-hamba-Nya!” Allah menciptakan alam semesta hanya dalam 6 hari. Tapi Allah butuh 40 tahun untuk memproses Musa di Mesir, 40 tahun di padang, dan 40 tahun di perjalanan ke Kanaan. Yesus butuh 3,5 tahun untuk membentuk murid-murid-Nya sebelum diutus ke dunia. Tuhan sudah memproses Darman selama 37 tahun dan masih belum selesai.. Demikianlah proses itu penting. Dalam proses kita semakin mengenal siapa Allah tempat kita berharap, semakin mengenal siapakah kita yg begitu tak berdaya tanpa Tuhan.. Allah sangat suka dengan proses! Melalui proses dia memotong “ranting-ranting” yg tidak berbuah dalam hidup/karakter kita. Melalui proses Allah mengajarkan banyak hal yg tidak bisa diajarkan secara teori di ruang2 kelas atau hanya melalui pembacaan Alkitab. Jangan takut menghadapi proses, karena siapapun yg mau diproses Tuhan akan menjadi pribadi yg lebih baik dari sebelumnya..
“Suffering theaches us lessons which aren’t learnt amid the ease and comfort of ordinary life. That’s one reason why God sometimes brings us through trying experiences” (Hudson Taylor, 1832-1905)
Thank you Pak Darman for reminding me the role of process that shape me throughout the process.